Pages

Kamis, 11 Februari 2016

AKU KANGEN, MBAH

Apa kabar, mbah?
Rasanya baru kemarin aku ditelfon mbah, rasanya baru kemaren aku tau bahwa kau baik-baik saja.
Sudah bertahun-tahun aku tidak lagi melihat wajahmu, karena kita terpisah oleh jarak, terpisah oleh daratan.
Sebenarnya waktu liburan kemarin aku hendak ingin menjengukmu di tanah seberang itu..melihat bagaimana keadaanmu waktu itu.

Tapi semua terlambat ketika aku mendengar kau telah tiada. Banyak orang yang merindukanmu untuk pulang ke kampung halaman, dan benar saja, kau pulang. Tapi pulang dalam wujud jenazah. Aku masih ingat betul detik-detik dimana kau sampai rumah dengan dibawah alunan ambulan. Kau terbujur kaku dalam peti mati. Kaku, tidak bernafas.
Aku masih ingat betul bagaimana aku menyentuh kain kafanmu untuk melihat mbah untuk yang terakhir kalinya. Mulutmu sudah penuh dengan kapas, hidungmu juga demikian.
Aku masih ingat betul raut wajahmu yang telah dibalut kain kafan, iya aku masih ingat.
Aku masih ingat betul ketika melihat anak-anakmu yang meronta-ronta ditinggal ibunya pergi. Ibuku, budeku, dan seluruh kerabat yang merasa kehilangan.
Sesak di dada, tak kuasa kami kehilanganmu.
Dan keadaan ini semakin larut ketika mbah hendak dimakamkan. Tak rela rasanya mbahku harus tinggal ditempat gelap, pengap seperti itu.

Aku nelangsa. Cucumu yang bertahun-tahun tidak kau temui, tiba-tiba kau datang sudah berbalut kain kafan.

Aku masih ingat, terakhir mbah menelfonku waktu liburan UAS semester 2.
Jujur aku sudah lupa apa yang disampaikan olehnya, yang jelas dia menyampaikan hal-hal yang baik kepadaku, memberikan nasihat yang ternyata itu adalah nasihat terakhir darinya.

Bahkan aku sudah lupa suaranya seperti apa. Aku mencoba mengingat-ngingat kembali, tapi sulit rasanya.
Yang ada dibenakku hanya sekelebat kenangan bisu saat-saat masih bersamamu.
Saat kau menjahitkan aku baju, memasak makanan yang lezat, menyapu dihalaman bersama, main bulu tangkis bersama, memarahi aku saat aku jail ke adikku, bahkan memarahi temanku yang waktu itu suka menggangguku.

Mbah, aku kangen.
Aku selalu mendoakanmu disini, semoga kau menjadi penghuni surga, dan bahagia di alam sana. Amin.

Selasa, 12 Januari 2016

EGO BERBICARA

Di satu sisi, kami sudah terlanjur menjadi teman. Tapi di sisi lainnya aku sudah muak bersamanya. Tatapannya, perilakunya terhadapku sungguh memperlihatkan ketidaksukaannya padaku. Banyak hal yang secara implisit telah menimpa nasib burukku karena dia. Aku tidak bermaksud menyalahkan, tapi aku menduganya. Kalo sudah begitu, aku bisa apa. Dia banyak mulut, semua orang terhasut dengan semua omongannya yang tak lain hanya sekedar mencari perhatian dan membuat kondisi seakan – akan dialah korban, dialah yang terluka. Sesekali aku mengingatkan bahwa ada kerjaannya yang salah, dan bukannya malah terimakasih atau langsung memperbaiki ‘ketidaktelitiannya’, dia malah membesar-besarkan masalah. Intinya, dia tidak mau disalahkan. Katanya mau dikritik, tapi egonya lebih besar untuk tidak mau mengalah atau tidak mau mengakui kesalahannya. Kata – katanya tidak bisa dipercaya.

Sangat disayangkan dalam kondisi apapun aku selalu bersama dia. Tiga tahun satu kelas yang sama, dan saat ini semakin besar intensitasnya. Aku bisa apa. melihat dia yang selalu mengeluh akan hal sepele yang menurutku jika menjalani kehidupan dengan santai dan penuh syukur, itu suatu hal yang lumrah dalam kehidupan. Aku bisa apa. melihat dia yang dengan seenaknya meninggalkan tanggungjawab besarnya hanya karena ketidakcocokan dengan orang – orang sekitarnya dan alasan lainnya yang terlalu membawa perasaan. Aku bisa apa.


Sebetulnya aku benar – benar ingin keluar dari kehidupanmu. Itu saja.