Di satu sisi, kami sudah terlanjur menjadi teman. Tapi di
sisi lainnya aku sudah muak bersamanya. Tatapannya, perilakunya terhadapku
sungguh memperlihatkan ketidaksukaannya padaku. Banyak hal yang secara implisit
telah menimpa nasib burukku karena dia. Aku tidak bermaksud menyalahkan, tapi
aku menduganya. Kalo sudah begitu, aku bisa apa. Dia banyak mulut, semua orang
terhasut dengan semua omongannya yang tak lain hanya sekedar mencari perhatian
dan membuat kondisi seakan – akan dialah korban, dialah yang terluka. Sesekali
aku mengingatkan bahwa ada kerjaannya yang salah, dan bukannya malah
terimakasih atau langsung memperbaiki ‘ketidaktelitiannya’, dia malah
membesar-besarkan masalah. Intinya, dia tidak mau disalahkan. Katanya mau
dikritik, tapi egonya lebih besar untuk tidak mau mengalah atau tidak mau
mengakui kesalahannya. Kata – katanya tidak bisa dipercaya.
Sangat disayangkan dalam kondisi apapun aku selalu bersama
dia. Tiga tahun satu kelas yang sama, dan saat ini semakin besar intensitasnya.
Aku bisa apa. melihat dia yang selalu mengeluh akan hal sepele yang menurutku
jika menjalani kehidupan dengan santai dan penuh syukur, itu suatu hal yang
lumrah dalam kehidupan. Aku bisa apa. melihat dia yang dengan seenaknya
meninggalkan tanggungjawab besarnya hanya karena ketidakcocokan dengan orang –
orang sekitarnya dan alasan lainnya yang terlalu membawa perasaan. Aku bisa
apa.
Sebetulnya aku benar – benar ingin keluar dari kehidupanmu.
Itu saja.